Salaya : dalam pertarungan antara pikiran dan perasaan

15 04 2011

Ini adalah tulisan yang sudah saya tulis sekitar setahun yang lalu. Sekarang saat yang tepat untuk membaginya dengan teman-teman. Mudah-mudahan ada manfaat yang bisa diambil, buanglah yang tidak bergunanya. Selamat membaca bagi yang ingin membaca 🙂 Semua tokoh dalam tulisan ini adalah nyata dan memang kisah nyata…waduh lebaay

 

” Ibu, aku merasa tertuding dengan stigma bahwa aku egois. Hingga aku berpikir bahwa memang aku yang egois”,  aku memulai curhatku pada wanita cantik yang aku panggil ibu ini.

”Mengapa begitu? Tidak seperti itu, Yuni punya kesempatan yang tidak semua orang bisa mendapatkannya. Ingat kesempatan itu tidak akan datang dua kali”, ungkapnya.

” Tapi ibu, rasanya terlalu berat. Aku seperti dibenturkan dalam pilihan mengambil tantangan ini atau memilih anak-anak. Menjawab tantangan berarti mengorbankan anak-anak”, sahutku dengan air mata yang mulai menetes.

” Dengar, apa Yuni tahu saat ini Ibu ingin belajar lagi, jadi mahasiswa lagi. Dana sudah ada, Abi mengijinkan, orangtua mendukung, kos-kosan udah dicari, tapi sampa saat ini Ibu masih seperti ini. Itulah takdir Allah. Tidak bisa semua terjadi begitu saja. Yuni, kamu punya kesempatan, ambil dan raihlah itu. Bukankah Islam memerintahkan kita untuk terus belajar sepanjang hayat, bahkan sampai ke negeri China. Yuni, islam kita membutuhkan SDM yang cerdas, berkualitas, kalau Yuni bisa sekolah setinggi-tingginya maka lakukanlah. Apalagi Yuni seorang perempuan, Yuni lihat sendiri berapa banyak SDM perempuan kita di parlemen dan di pemerintahan, masih sangat sedikit karena memang kapasitasnya yang masih kurang, tak banyak perempuan yang cerdas dan punya skill serta didukung oleh pemahaman islam yang kuat. Lebih dari 50% rakyat kita adalah perempuan. Yuni ngerti?” Jelasnya panjang lebar.

”Iya bu, tapi tetap ada keraguan dan rasa bersalah saya pada anak-anak, saya berat sekali meninggalkan anak-anak dalam usia mereka yang masih balita”, air mataku pun makin deras mengalir.

”Yuni, setahun itu hanya sekejap saja, tak lama. Bersabarlah, yakinlah bahwa kamu mampu melakukan ini semua. Thailand itu dekat kan. Dengar, sekarang ibu mau tanya, apa suamimu berkeberatan?”

” Tidak, dia bahkan selalu mendukung saya agar segera sekolah lagi. Sejak sebelum menikah bahkan dia sudah menyuruh saya melanjutkan sekolah ke luar negeri, mencari beasiswa. Bahkan dia lebih aktif mencarikan untuk saya ketimbang untuk dirinya sendiri,”

”Nah, apalagi begitu. Cukuplah ijin suamimu sudah menjadi dasar, cukup sebagai bekalmu, bahkan meskipun Yuni tidak diijinkan oeh orang tua atau saudara yang lain. Ijin suamimu sudah melebihi semua ijin lain.”

Aku terdiam dan hanya bisa menjawab dengan tangisan. Rasanya cukup melegakan. Aku tahu aku harus maju, aku tahu aku tak boleh menyerah pada perasaanku. Tapi tetap saja aku seorang ibu, naluriku selalu membuatku ingin dekat dengan suami dan anak-anakku. Aku seorang ibu, keinginanku untuk bersama anak-anak yang lahir dari rahimku tentu saja lebih kuat dari keinginan seorang ayah untuk dekat dengan anak-anaknya. Dan sekarang aku harus kuat untuk meninggalkan mereka, untuk mengambil S2 di negeri asing, mengambil kesempatan beasiswa yang telah terbuka.

Aku teringat saat hendak apply beasiswa ini. Sempat terlintas keraguan, aku takut diterima. Bodoh memang, seharusnya mendapat beasiswa itu menggembirakan, tapi untukku malah menakutkan.Sampai-sampai aku menunda terus pengiriman aplikasi online itu.

”Eh, kalian udah baca email Pak Roy tentang beasiswa di Mahidol uiversity”, tanya Bu Selma, seorang teman peneliti yang lebih senior dariku dan teman-teman kantor lain.

” Sudah bu, saya sudah apply”, kata Mas Syarif, teman seangkatanku yang super kocak.

” Kamu ga coba Yun. Thailand itu dekat lho, cukup bagus lagi. Enak ko dan mungkin persyaratannya lebih mudah”, tannya Bu Selma padaku.

”Iya tuh, saya sudah bilang berkali-kali, kalian itu ga usah mikirin kantor mau jadi apa atau gimana, jangan mikirin proyek terus. kalian harus terus belajar, yang penting belajar Inggrisnya dulu. Banyak peluang beasiswa berseliweran lewat begitu saja. Apa sih yang kalian tunggu, lima tahun bekerja di sini tak jadi apa-apa, padahal kalian harusnya sudah jadi DOKTOR dalam 5 tahun itu”, sambut Bu Anny, ketua KPP kami yang selalu mengompori kami untuk sekolah. Dia sendiri sudah menyandang gelar PHd dari USA.

”Iya bu, saya mau coba apply juga, tapi belum Bu. Saya masih mikirin anak-anak dan suami. Berat kalau ditinggal. kalau dapat di Indonesia, saya prefer di Indonesia saja Bu”, jawabku

”Wah, kamu takut ya suami kamu buka cabang, hahaha”, ledek Mas Syarif.

”Yun, Thailand itu deket lho, apalagi sekarang ada Air Asia yang murah. Kamu bisa pulang tiap bulan lho”, Kata Bu Selma lagi.

”Yun, dengar. Tahun ini tidak ada anggaran beasiswa tugas belajar dari PPSDM. Ingat kata Pak Roy, jangan menunggu dan mengandalkan kantor atau pemerintah. kalau  bisa cari sendiri lebih baik dan lebih memudahkan bagi kantor kita karena tidak perlu mengeluarkan biaya untuk sekolah. Kamu sudah dengar kan pengalaman teman-teman yang berusaha dapat beasiswa dalam negeri. sulitnya minta ampun, karena yang mau banyak, tapi peluang dan anggaran sedikit. pokoknya susah lah, mendingan kamu ke luar negeri. Tambah pengalaman, kuliah jalan, tak perlu keluar  biaya apalagi sampai ngutang sana sini, bahkan kalau hemat beasiswa bisa ditabung sebagian, gaji tetep ngucur tiap bulan. Jauh lebih melegakan”, kata Bu Anny.

”Iya bu, nanti saya coba apply. Masih ada 4 hari lagi sebelum closing date”, jawabku akhirnya.

Dan begitulah, aku pun apply beasiswa tersebut, 2 hari sebelum tanggal terakhir. seminggu kemudian aku dapat balasan bahwa aku lolos seleksi putaran pertama. Kemudian aku mengirimkan berkas-berkas transkip dan ijazah S1 yang itupun disiapkan oleh suamiku. Lalu seminggu kemudian aku mendapat email bahwa au lolos dan mendapat beasiswa penuh dari Ford Foundation. Saat itulah justru aku menjadi bimbang. mengambil kesempatan itu berarti meninggalkan keluargaku, tidak mengambil kesempatan itu akan sangat disayangkan karena aku mendapat full scholarship dan aku khawatir peserta tahun depan dari Indonesia akan di-black list jika aku mundur tahun ini. Aku pun berkonsultasi dengan penerima beasiswa progam ini tahun-tahun sebelumnya. Dan aku menyimpulkan bahwa yang terbaik adalah mengambil peluang ini.

Selain itu aku pun banyak berbagi dengan teman-teman seniorku di kantor, salah satunya Bu Rini.

”Bu, gimana ya. Saya ambil apa tidak ya peluang itu?, tanyaku pada Bu Rini

”Lha ya ambil lah Yun, mumpung anak-anak masih kecil.”, jawabnya.

”Lho ko gitu Bu, justru saya khawatir karena anak-anak masih kecil.” timpalku heran

”Aku ini udah pernah ngerasain kuliah saat anak-anak sudah beranjak dewasa, ternyata lebih susah.” jawabnya lagi.

”Maksudnya lebih susah gimana Bu, saya ngga ngerti”, tanyaku

”Iya, kalau anak kecil itu masih bisa dialihkan perhatiannya. Lain dengan anak yang beranjak dewasa, dia harus diperhatikan lebih banyak mulai dari belajarnya, cara bergaulnya, teman-temannya dan urusan lainnya yang jauh lebih rumit daripada sekedar memberi makan atau mengajak main.”,ungkap Bu Rini

”Oh, begitu Bu”,

”Iya, begitu. Aku soalnya sudah ngalamin”.

—-

mengunjungi National Park Khao Yai bersama teman-teman

Kucium tangan suamiku setelah kami shalat isya bersama. Benakku dipenuhi pertanyaan yang ingin kusampaikan pada suamiku, aku ingin meyakinkan diriku dengan pertanyaan-pertanyaan itu.

”Yah, mengapa Ayah mengijinkan aku pergi”, tanyaku sambil meletakkan kepalaku di bahunya.

”Kenapa tanya begitu, Bunda pergi untuk mencari ilmu kan”, dia balik bertanya

”Tapi Yah, bukankah tempatku yang nyaman adalah di sisimu dan anak-anak. Bahagiaku adalah bersama kalian, orang-orang yang paling aku sayangi, yang ingin aku lindungi, aku kasihi setiap saat. Aku ingin selalu melihat kalian di sisiku, meyakinkan kalian aman”, ungkapku

”Aku tahu, kamu memang selalu ingin jadi wonder woman, menyelesaikan segala masalah. Sayangku, ini adalah waktu di mana kau harus belajar mempercayakan berbagai urusan rumah ini dan anak-anak padaku, memberi aku kesempatan untuk belajar menjadi seorang ayah yang menghandle semuanya, tidak selalu bergantung padamu”, ungkapnya di luar dugaanku

Aku merasa tersentuh oleh pernyataan itu. Aku menangis.

”Bunda, kamu harus lihat ini sebagai sebuah lompatan. Kamu tahu elektron terluar, dia harus melepaskan energi agar bisa berpindah ke lintasan yang lebih dalam. Lihatlah ini sebagai sebuah lompatan kuantum. Lihatlah betapa mudahnya Allah membukakan jalan untukmu, Allah memilihmu di antara teman-temanmu yang lain, Allah tengah menghamparkan karpet merah untukmu. Berjalanlah di atasnya, lalui jalan itu, gapailah apa yang akan Allah takdirkan untukmu”, ucapnya panjang lebar.

Aku hanya mampu tergugu di bahunya, deras air mataku mengalir. Dia mengusap air mataku, aku sungguh terlarut dalam perasaanku saat ini. Perlahan kulihat ia pun meneteskan air mata, sesuatu yang sangat jarang aku lihat pada sosok lelaki yang telah 5 tahun menjadi pendamping hidupku. Aku tahu, ini pun bukan keputusan yang mudah untuknya.

”Bunda ingat bagaimana kita dulu, saat Najya lahir saat aku jobless, lalu Hanun lahir juga aku jobless. Bagaimana dulu Allah selalu memberikan jalan keluar bagi kita, Bunda ingat kan? Lalu bagaimana ketika aku memutuskan untuk kuliah lagi, saat itu kaupun tak begitu mendukungku karena alasan ekonomi, tapi lihat bagaimana Allah memberi jalan dengan adanya beasiswa untukku. Lalu lihat lagi ketika kau berkeinginan keras untuk mengontrak rumah ini dalam kondisi penghasilanku pas-pasan, betapa Allah berikan jalan sehingga aku mendapat pekerjaan lain. lihatlah semua itu. Dan, sekarang Allah berikan jalan lain untuk kita, husnudzan dan sepantasnya kita bersyukur pada Allah. Allah pasti punya rahasia di balik ini semua. Bunda ingin punya rumah kan, bukankah bunda selalu berkeras untuk yang satu itu?”, pancingnya.

”Heeh”, aku hanya mamu mengucapkan itu.

”Ya, mungkin ini jalannya. Sudahlah, Bunda harus kuat, percayalah kita mampu menjalani ini semua.Break the limit, making the impossible become possible, the uncertain become certain, take the risk.Buatlah perubahan, Keluarlah dari zona nyaman, jawablah tantangan, ciptakan peluang itu. Itulah karakter seorang pejuang. Dan aku percaya istriku ini adalah seorang pejuang, karena dari dulu kau selalu berjuang. Aku tahu istriku ini bukanlah tipe ustazah, dan aku lihat potensi yang ada padamu adalah ilmu, itulah yang harus dioptimalkan. Dan kesempatan itu telah terbuka, kau telah memilih jalan menjadi seorang peneliti, itu yang harus dijalankan. Aku ingin istriku mampu mengaktualisasikan diri, aku tak mau mengungkungmu, aku ingin engkau maju sebagaimana aku pun ingin maju. Aku mohon maaf, hingga saat ini belum mampu memberimu dan anak-anak tempat tinggal. Dan karena itu pula aku tak akan menghalangimu mengambil jalan untuk mempercepat terwujudnya keinginan itu, aku takkan menghalangi apapun selama  berada di jalan yang kita yakini kebenarannya. Jangan khawatir dengan prasangka orang lain, yakinlah pada diri kita sendiri, jangan ragu melangkah” ucapnya sambil mengelus kepalaku.

”Terima kasih Yah,”, aku tak sanggup berkata lain kecuali itu. Kupeluk dia sepenuh hatiku. Aku ingin merasa aman dalam rengkuhannya.

”Tenanglah, aku ga bakal buka cabang ko, setidaknya tidak dalam waktu dekat ini” candanya.

”Huh, selalu gitu deh. Sebel”, aku mencubit pipinya. Aku paling kesal kalau dia berkata begitu.

”Ya sudah, kita tidur dulu. Sudah malam. Besok aku antar ke kedutaan ya, mau buat visa kan”, katanya.

”Iya, ayo” sambutku.

Dan begitulah. Waktu terasa berjalan begitu cepat. Aku berharap waktu kepergianku masih lama lagi dan berharap bahwa waktu itu tidak akan tiba.  Kadang bahkan sebaliknya, aku berharap waktu itu sudah begitu cepat berlalu sehingga aku sudah berada kembali di sini, di tempat ini bersama suami dan anak-anakku. Tanggal 14 Juli, waktu yang kupilih untuk keberangkatan ke Thailand, semakin dekat. Terasa begitu cepat……..Seandainya dapat kuputar waktu, akan kuputar ia menjadi April 2010, saat perkiraan aku lulus.mmmmmh, berat rasanya. Tapi, SALAYA…… I WILL COME.





ASI of the smiling face WAFA

10 11 2010

Kalau ada orang yang membuat saya iri saat ini adalah ibu-ibu dengan ASI berlimpah sehingga bisa menyusui anaknya secara eksklusif. Punya stok ASI berlimpah di kulkasnya. Seperti berita yang ini

http://www.detikhot.com/read/2010/11/03/163712/1484440/230/naik-haji-istri-irfan-hakim-stok-asi-2-kulkas

Tentu saja semuanya dilakukan dengan usaha keras.

Kenapa saya harus iri??

Melihat tabungan ASIP saya yang kian menipis mulai terbersit kekhawatiran dalam diri saya. ASIP itu telah saya kumpulkan sejak WAFA berusia 2 pekan hingga saat ini memasuki pekan ketiga saya kembali bekerja. Setiap saya tinggal bekerja dia menghabiskan sekitar 300-400 ml lebih, sementara saat pulang saya hanya membawa 150, paling bagus 200ml, ditambah hasil perahan malam dan pagi sebelum kerja sekitar 60-100ml. Total sekitar 300 ml. Itupun kalau saya lancar bisa merah dengan teratur, kadang-kadang saya berada di lokasi yang membuat saya mengalami kesulitan untuk memerah ASI atau kadang saya di perjalanan dengan kendaraan umum.

Saya masih berkejaran dengan stok ASI, kadang saya memerah di atas kendaraan teman yang saya tumpangi, di ruang tunggu rumah sakit, di mushola, di ruang rapat, di mobil jemputan, di manapun selama saya bisa. Dengan tangan dan jlbab, saya merasa tidak akan ada orang yang curiga…and I don’t care. Salah sendiri, kenapa tidak ada ruang khusus untuk wanita pemeras seperti saya.

Saya telah gagal memberi ASI ekslusif bagi kedua anak saya dan tak ingin gagal untuk anak ketiga saya. Kegagalan itu terjadi dengan berbagai alasan, mulai dari masalah ASI yang tak mencukupi, ekonomi, pekerjaan dan yang absolut adalah pengetahuan saya. Saya belum melek, belum tahu strategi, meskipun saya lulusan S1 saat itu.

Menjadi working mother bagi saya adalah bagian pemenuhan kebutuhan, tidak hanya secara finansial, tetapi juga kebutuhan aktualisasi diri. Berulang kali saya membayangkan seandainya saya seorang full time mother, mungkin saya tidak akan mengalami “kejar setoran” seperti ini, tapi berulang kali pula saya tersadar bahwa menjadi working mother ataupun fulltime mother adalah pilihan (hopefully voluntarily choice) dengan konsekuensi dan tantangan masing-masing.

Menjadi WM tentu sangat melelahkan, ditambah lagi malam hari masih harus bangun dan berusaha mengumpulkan tetes demi tetes ASI untuk menambah stok keesokan hari…makin melelahkan. Tapi sayapun telah merasakan berada di rumah sepanjang hari, mengurus anak2 sepanjang hari, melakukan pekerjaan rumah…subhanallah urusan domestik memang tak ada habisnya, dengan hasil pekerjaan yang seringkali dikatakan “tak berbekas”. Makanya saya suka keder kalau suami saya pulang kerja dan komentar miring tentang kondisi rumah. Dari itu pula saya memahami dan merasa tak perlu protes dengan kondisi rumah yang berantakan atau kurang rapi sepulang saya dari bekerja. Saya tak ingin menuntut banyak dari para ART (asisten Rumah Tangga) saya. Saya cuma mengecek makan the active Najya dan the talkative little Hanun dan tentu saja the smiling face Wafa tercukupi minum ASInya setiap hari. Itu sudah cukup. Apalagi Wafa minum ASI dengan sendok feeder (apa sih namanya ya, softcup feeder barangkali), pokoknya botol dengan ujung sendok yang praktis hanya orang yang telaten dan terlatih yang bisa menggunakannya. Saya berikan applause untuk ART saya dengan keterampilan ini.

Masih berkejaran dengan stok ASIP dan berkejaran dengan keinginan memberi ASI hingga 2 tahun, saya harus meminta pada yang Kuasa, agar diberi kekuatan serta jalan keluar. Bismillah…insyaAllah saya bisa!!! Ya Allah biarpun ASI saya tak berlimpah hingga saat ini, tapi cukupkanlah untuk anak saya.

(Bunda Yuyun Yuniar)





tvOne: Riset di Australia: Dokter Berkonspirasi Dengan Perusahaan Obat – Sosial Budaya

21 10 2010

tvOne: Riset di Australia: Dokter Berkonspirasi Dengan Perusahaan Obat – Sosial Budaya.

 

Bagaimana dengan Indonesia?

Rabu, 20 Oktober 2010 18:46 WIB

Singapura (tvOne)

Para dokter cenderung memberi resep obat produksi perusahaan farmasi yang mempromosikan produknya ke dokter bersangkutan, namun pasienlah yang membayar lebih biaya obat tersebut.

Hasil riset tim peneliti pimpinan Geoffrey Spurling dari Universitas Queensland, Brisbane, Australia, ini juga mendapati fakta bahwa pasien yang menerima obat-obatan non-generik dari para dokter itu tidak selalu tepat bagi dirinya.

Laporan hasil penelitian itu yang dipublikasikan Rabu didasarkan pada 58 studi di sejumlah negara. Hasil riset tersebut mendapati informasi, perusahaan farmasi mempengaruhi para dokter dalam menetapkan resep obat kepada pasiennya. “Anda tidak bisa mengatakan bahwa informasi dari perusahaan-perusahaan farmasi itu membantu peresepan obat para dokter seperti diklaim perusahaan-perusahaan farmasi itu,” kata Spurling.

Klaim para dokter bahwa mereka sama sekali tidak terpengaruh oleh informasi perusahaan farmasi saat memutuskan resep obat pasiennya, juga tidak terbukti dalam hasil studi itu.
“Anda patut mengatakan bahwa setidaknya pada saat tertentu, para dokter itu terpengaruh,” katanya kepada Reuters.

Beberapa peneliti yang terlibat dalam riset pimpinan Spurling ini merupakan anggota “Healthy Skepticism”, organisasi riset, pendidikan, bantuan hukum nirlaba internasional yang dibentuk untuk membantu mengurangi bahaya informasi kesehatan yang menyesatkan bagi publik.

Laporan penelitian itu menyebutkan bahwa para dokter yang menerima penjelasan maupun informasi dari perusahaan farmasi lebih mungkin memberi resep obat produksi perusahaan farmasi bersankutan kepada pasiennya.

Hasil 38 studi yang dilakukan juga menunjukkan adanya kecenderungan keterkaitan langsung antara informasi perusahaan farmasi itu dan peresepan obat.

Namun hasil 13 studi lainnya tidak menunjukkan adanya keterkaitan itu, kata Suprling dan anggota tim riset pimpinannya dalam laporan penelitian yang dipublikasi jurnal “Public Library of Science PLoS Medicine” Amerika dihttp://www.plosmedicine.org/article/info%3Adoi%2F10.1371%2Fjournal.pmed.1000352 itu.

Tidak satu pun hasil studi itu mendapati para dokter menjadi kurang sering memberi resep obat karena bahan promosi maupun informasi perusahaan farmasi.

Menanggapi hasil riset itu yang dilakukan di sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Denmark, Prancis, Estonia, Turki dan Australia, Dr.Sid Wolfe dari kelompok advokasi, Public Citizen, mengatakan bahwa industri farmasi tidak mengeluarkan dananya berikut staf penjualan obat kalau tingkat keberhasilannya nol. “Mayoritas dokter mendapatkan informasi tentang obat-obatan dari industri farmasi ini,” katanya.

Para staf penjualan obat perusahaan farmasi ini bahkan sering membawakan makan siang ke kantor seorang dokter praktik, maupun mengundang mereka ke acara-acara olah raga dan hiburan lainnya, saat mereka memberikan penjelasan.

Menurut Spurling, hasil studi di Inggris terhadap lebih dari seribu orang dokter umum mendapati bahwa mereka yang lebih sering bertemu staf penjualan obat cenderung lebih sering memberikan resep-resep obat mahal. Namun, tidak ada jaminan bahwa pasien mendapatikan obat-obatan yang tepat bagi penyakitnya.

Mengutip hasil-hasil studi yang ada, Spurling mengatakan, mutu resep obat yang diberikan para dokter kepada pasiennya itu berada di bawah standar pedoman maupun rekomendasi para ahli.

Sebagai contoh, pedoman resmi di Amerika Serikat sudah meminta para dokter menggunakan obat-obatan generik yang terlama dan termurah bagi para penderita tekanan darah tinggi dan diabetes sebelum beralih ke obat-obat paten yang lebih baru dan biasanya masuk kategori resep obat-obatan berbahaya.

Temuan empiris ini mendorong para peneliti mengusulkan adanya pengaturan terhadap besaran uang yang boleh dialokasikan industri farmasi untuk kepentingan promosi produk mereka.

Pada 2004 saja, perusahaan-perusahaan obat Amerika menghabiskan dana sebesar 57,5 miliar dolar AS untuk kegiatan promosi. “Kita perlu regulasi yang lebih atas promosi obat. Kita tidak mendapati adanya manfaat apapun,” katanya.

Selain itu, para dokter juga perlu mendapat informasi tentang obat dari sumber yang beragam seperti universitas dan organisasi-organisasi kredibel lainnya, katanya. “Seorang dokter yang lain tentu mengikuti informasi terkini soal obat dari kebiasaan membaca literatur dan jurnal-jurnal ilmiah,” kata Wolfe.

Kalau para dokter itu tidak punya waktu mendapatkan informasi obat dari kebiasaan membaca melainkan bergantung pada penjelasan staf penjualan perusahaan farmasi, mereka berarti bukanlah dokter yang baik, katanya.

Berkaitan dengan masalah ini, ProPublica, pendukung jurnalisme investigatif, dan sejumlah organisasi lainnya di AS membeberkan fakta bahwa tujuh perusahaan farmasi di negara adidaya itu membayar ribuan dolar AS kepada sedikitnya 17 ribu orang dokter untuk berbicara dengan sejawatnya tentang produk-produk obat perusahaan farmasi yang bermitra dengannya. (Ant)





Baby Blues or Baby Bless (bagian ke-3 : IMD, rooming in dan ASIX)

5 09 2010

Saya tidak salah pilih RB, saat itu saya adalah pasien satu-satunya. Setiap kali waktu makan tiba saya selalu melahap habis makanan yang disediakan. Enaaak.

Bidan-bidan yang bertugas juga sangat membantu dan friendly.

Sesaat setelah si bayi lahir, IMD pun segera dilaksanakan. Kebahagiaan dan rasa lega yang luar biasa melingkupi saya dan suami saat itu. Wafa lahir dengan berat 3350 kg dan panjang 50 cm. Cukup montok dibanding kedua kakaknya. Kelegaan luar biasa karena sudah tidak ada kewajiban menahan rasa ingin mengejan, yang bagi saya adalah bagian tersulit setiap kali melahirkan.

Baru kali ini saya menikmati IMD. Rasa yang luar biasa. Kehangatan yang terasa menyebar, mengikatkan saya dan si bayi. Sayang sekali saya masih merasa mulas akibat sisa-sisa induksi, makin lama rasa mulas makin hebat, kontraksi makin kuat. Sekitar 15 menit kemudian saya meminta bayi saya diambil dan menyudahi proses IMD, karena saya merasakan mulas yang kuat. Dokter bilang kontraksi ini sebenarnya mempunya intensitas yang lebih kuat dibanding kontraksi saat kelahiran, tp mungkin terasa lebih ringan karena tidak ada beban mengeluarkan si bayi. Proses ini justru baik dengan kondisi perut saya keras seperti batu.

Sekitar 3 jam kemudian saya dipindah ke ruangan perawatan dengan bayi bersama saya. Segera kembali saya berusaha menyusuinya meskipun saya tahu ASI belum keluar. Si kecil sudah pandai menghisap rupanya, nyata ia haus karena berkali-kali menangis semalaman. Sampai suatu saat saya pun mengetuk pintu bidan jaga dan mengatakan bahwa si kecil menangis terus. Mba Bidan bertanya apa saya berniat memberi susu formula? Tapi kemudian ia segera berkata : ”sayang Bu, lanjutkan saja, memang harus sabar karena ia akan menangis terus karena haus, biarkan ia menyusu meskipun blm ada ASI yang keluar. InsyaAllah akan segera keluar.”

Saya pun kembali ke ruangan dan menguatkan tekad, insyaAllah bisa. Teorinya saya sendiri tahu kalau si bayi sebeneranya tahan sampai 2 hari tanpa ASI atau sufor, tapi tangisannya kadang membuat tidak tega. Saya pun kembali menyusuinya, berkali-kali hingga lama-lama terasa sudah ada tetesan kolostrum yang keluar. Sakit mulai terasa pada kedua PD saya, perih mungkin karena latch on yang belum tepat.

Dua malam saya lalui di ruangan itu berdua bersama makhluk kecil yang baru saja melihat dunia.





Baby Blues or Baby Bless (Bagian ke-2 : Setelah tusukan keenam)

5 09 2010

Pada Senin pagi tanggal 26 Juli saya bergegas menuju RS X di mana saya diperiksa oleh dokter yang sama dengan di RB Y. Seminggu sebelumnya dokter ini hanya memberi waktu hingga hari Sabtu tanggal 24 Juli untuk kelahiran si bayi mengingat usia kandungan yang hampir 40 pekan, tetapi setelah melihat kondisi air ketuban dan gerakan bayi yang masih cukup maka waktu diperpanjang lagi untuk dilihat kembali pada Senin 26 Juli. Namun pada pagi Senin itu ternyata telah ada pembukaan sebesar 3 cm (bukaan 3) dan saya tidak diijinkan pulang, melainkan langsung dirujuk ke RB Y dengan pesan tambahan untuk diinduksi jika dalam satu jam kontraksi masih tidak teratur.

Benar saja, satu jam kemudian yaitu jam 10, kontraksi masih belum muncul. Jujur saja, di dalam hati saya masih muncul penolakan untuk induksi sehingga saya masih menunda nunda dan memilih berjalan-jalan saja. Kekhawatiran proses induksi akan berakhir di meja operasi membuat saya agak bergidik. Kebetulan saat itu saya bertemu pemilik RB yang mengharapkan saya bisa melahirkan tanpa induksi. Ketakutan akan rasa sakit yang lebih akibat induksi juga membayangi saya. Akhirnya saya harus menyerah ketika para bidan meminta kesediaan saya untuk memulai proses induksi.

Diawali sekitar pukul 10.30 saat jarum suntik pertama menembus tangan kiri saya untuk memasukkan infus hingga tusukan keempat pada jam 12 siang, kedua bidan tidak berhasil mendapatkan pembuluh darah yang bisa digunakan untuk infus. Hasilnya saya cukup mengalami rasa sakit akibat empat kali tusukan. Setiap kali jarum ditusukkan maka seketika itu pula pembuluh darah saya pecah dan bengkak. Kedua bidan memohon maaf pada saya karena hal tersebut. Baru sekali ini mereka mengalami kejadian serupa, pun bagi saya, tak pernah mengalami hal seperti ini. Sepertinya saya takut. Sekitar pukul 1 siang barulah dicoba kembali tusukan kelima di lengan kanan saya, dan kembali gagal. Alhamdulillah 1 cm di atas bekas lubang jarum tadi berhasil ditembus dan cukup baik untuk memasukkan infus dan oksitosin tentunya. Jam 2 kurang kontraksi mulai muncul teratur dan mencapai puncaknya sekitar jam 2.45. Kontraksi yang kuat tak tertahankan muncul hanya dalam selang 1-2 menit sehingga menimbulkan rasa ingin mengejan yang kuat. Badan saya sudah menggelepar, melintir-lintir merasakan kontraksi hebat. Selang 30 menit kemudian tiba saat menentukan ketika kepala si bayi tiba-tiba masuk ke jalan lahir sehingga saya diijinkan mengejan. Alhamdulillah dalam satu kali hentakan lahirlah sang bayi itu dan tak lama diiringi tangisan kerasnya. Tepat jam 3.12 putri ketiga telah lahir.

Kesetian seperti Berlian yang Sempurna

Bagaimanapun saya Beruntung suami saya mendampingi proses dari awal hingga akhir, segala syukur saya kepada Allah atas segala kemudahan yang diberikan-Nya.





Baby Blues or Baby Bless (Bagian ke-1: Medikalisasi)

5 09 2010

Setelah menunggu selama hampir 40 pekan akhirnya putri ketiga saya lahir normal setelah proses induksi. Kelahiran Wafa melengkapi keberadaan 2 putri sebelumnya, sehingga lengkaplah keluarga kami dengan kehadiran 3 gadis kecil. Walhasil si ayah masih jadi yang terganteng hingga saat ini.

Sedikit berbeda dengan kedua kakaknya, kelahiran Wafa tidak diawali dengan kontraksi, bahkan hingga saat melahirkan kontraksi yang terjadi masih tidak teratur. Akhirnya proses induksi menjadi pilihan.

Pada hari Senin 26 Juli pagi saya ke rumah sakit “X” menemui dokter kandungan yang biasa saya temui di RB “Y”. Saya memutuskan untuk tetap melahirkan di RB dengan berbagai pertimbangan khususnya biaya. Sebagai PNS, Askes hanya membantu biaya persalinan hingga anak kedua, padahal saya sendiri baru menggunakan Askes sekali yaitu untuk anak kedua saya. Pada saat itu pun system yang diterapkan berupa cost sharing sehingga meskipun saya melahirkan di RS pemerintah tetapi biaya yang ditanggung Askes hanya sekitar 45% pada saat itu, sisanya saya harus membayar sendiri.

Sekembalinya dari Thailand saya merasakan mahalnya biaya yang harus dibayar sejak pemeriksaan kehamilan. Saya yang biasa tidak bayar ketika memeriksakan kehamilan di Thailand, ketika pulang terkaget-kaget ketika harus membayar biaya pemeriksaan yang mencapai sekitar 250 ribu untuk USG dan print 2 dimensi di sebuah RS swasta. Cukup memberatkan untuk seorang PNS yang tidak punya jamsostek atau asuransi kesehatan lainnya.

Pertimbangan untuk menyisihkan sebagian biaya untuk akikah menjadi alasan tambahan sehingga saya memilih untuk melahirkan di RB Y tempat dulu anak pertama saya lahir.

Saya berusaha menepis keraguan dengan penuh harapan agar kelahiran bisa berjalan normal tanpa operasi cesar. Alhamdulillah 2 anak sebelumnya pun lahir spontan, sehingga saya cukup berbesar harapan akan kelahiran anak ketiga pun dengan proses normal.

Lagipula, saya teringat suatu diskursus (discourse) ketika saya menjalani kuliah S2 saya yaitu tentang medikalisasi. Proses melahirkan sebenarnya merupakan proses normal dan alami seperti di masa lampau, bahkan seseorang bisa saja melahirkan tanpa bantuan orang lain. Semakin lama melahirkan menjadi proses yang mengalami medikalisasi, orang akan berpikir melahirkan harus di rumah sakit, dengan bantuan medikal profesional. Sedikit sekali orang yang berpikir untuk melahirkan di rumah. Maka muncul pula trend membawa kembali proses melahirkan menjadi proses rumahan yang dikenal dengan home birth. Trend di negara barat mulai beralih kembali ke home birth ini. Satu lagi konsep medikalisasi yang sangat kentara ketika orang memilih operasi cesar tanpa indikasi medis yang jelas melainkan karena trend atau alasan lain misalnya untuk memelihara kecantikan, menghindari rasa sakit ataupun agar bisa memilih tanggal kelahiran yang diinginkan. Proses kelahiran yang sebenarnya peristiwa natural jelas harus berada di suatu tempat bernama ”rumah sakit” di suatu ruang bernama ”ruang operasi” dengan segala atributnya.

Hal ini semakin memantapkan saya untuk memilih tempat melahirkan yang memiliki suasana ”like home”, dengan orang-orang yang juga lebih memiliki suasana kekeluargaan, lebih santai. Tetapi pertimbangan penting adalah penerapan proses melahirkan yang pro normal, pelaksanaan IMD dan pro ASI eksklusif. Saya telah mengalami kegagalan memberikan ASI eksklusif pada dua anak sebelumnya, cukup sudah itu semua. Dan kali ini saya akan berusaha semampu saya, memantapkan kepercayaan diri, membuat suasana sekondusif mungkin untuk berlangsungnya IMD dan ASIX. Kondisi psikologis yang mendukung sangat penting, dan itu yang mungkin tidak saya miliki saat anak terdahulu. Saya tidak yakin asi cukup, saya merasa tidak nyaman, dan sangat mungkin saya mengalami kelelahan secara fisik akibat bekerja ataupun baby blues syndrome. Kali ini saya bertekad harus menciptakan suasana yang mendukung demi masa depan anak saya.

Hidup ASI eksklusif !





Pola Peresepan Rasional dan Penggunaan Obat Rasional

7 04 2010

Saya tergelitik untuk ikut menanggapi masalah rasional dan irasional drug use atau juga masalah pola peresepan yang irasional.

Hal ini sangat menarik untuk saya dan selama ini bersama rekan-rekan di kantor sudah beberapa kali melakukan survey masalah rasionalitas peresepan dan penggunaan obat. Topik ini pula yang  saya angkat dalam tesis saya . Terlepas dari semua sisi medical farmakologis, saya akan berencana untuk fokus pada sisi kualitatif dan sisi sosialnya. Satu hal yang sering terabaikan dalam edukasi penggunaan obat adalah aspek budaya, beliefs , values.

Selama ini fokus edukasi selalu berputar hanya pada tenaga profesional kesehatan dan melupakan sisi ordinary people, padahal jelas setiap orang akan punya pengertian sendiri mengenai masalah kesehatan dan bagaimana menanganinya, dengan justifikasi sendiri-sendiri yang mungkin sekali di luar perkara medis. Inilah yang disebut “popular health sector”, dan “folk health sector yang termasuk di dalamnya adalah pola-pola pengobatan tradisional, pengobatan sendiri dengan obat modern serta saran-saran dari berbagai pihak antara lain keluarga, tetangga dan termasuk nasihat “ibu dokter” (alias istrinya pak dokter), pengobatan supranatural yang tentu saja termasuk kasus “Ponari”.

Menariknya adalah menurut referensi lebih dari 90% penanganan masalah kesehatan justru mengandalkan dua sektor tadi, dan baru sisanya mengambil “professional sector”. Jadi dari perspektif sosial tidak ada kecenderungan untuk menyatakan bahwa kita harus bergantung pada sektor profesional.

Mengenai dokter, cara meresepkan dll sepertinya harus dilihat juga dari aktor lain yaitu perawat dan farmasis. Meskipun memang sebagian besar peresepan selalu berawal dari dokter, dan umumnya sebagian besar pasien dianggap pasif dalam hal ini, jadilah pasien hanya sebagai objek penderita dari segala keputusan yang dibuat dokter, perawat dan farmasis dalam hal pengobatan, tanpa agency (kemampuan untuk bernegosiasi) . Hanya sebagian kecil orang yang bisa bernegosiasi atau mempengaruhi dokter dalam urusan peresepan.

Ini adalah hal yang sering sekali membuat saya jengah tetapi juga lemah, peresepan irasional untuk kasus ISPA (infeksi saluran pernafasan akut) dengan gejala batuk-pilek pada anak dengan penyebab virus, yang hampir selalu dibombardir dengan antibiotik branded-mahal (biasanya sudah antibiotik spektrum luas, generasi baru) dan juga dengan beberapa kombinasi obat branded yang diulek jadi puyer, kadang antibiotik dan antivirus dicampur, kadang 4-5 obat sekaligus, kadang sampai 10 lebih sediaan obat dalam 1 lembar resep. Dan kalau saya menolak, dokter selalu ada alasan : ga manjur tanpa antibiotik, ga mempan kalo ga dibuat puyer. Kalaupun saya menolak menebus resep antibiotik, maka pihak apotek akan memandang saya dengan aneh dan wajah jutek. maklum lah biaya antibiotik bisa mencapai 70% dari total biaya obat. Padahal, menghindari antibiotik untuk kasus viral ISPA terbukti mengurangi kejadian ISPA berulang pada anak-anak. Dan perlu disadari bahwa sebagian besar ISPA disebabkan oleh virus, bukan bakteri.

Memang banyak yang perlu dibenahi, hhhmm jadi mikir gimana mengatasi masalah yang sudah sangat parah di Indonesia… puyeng, ah.

Yuyun Yuniar,S.Si.,Apt, MA

Seorang farmasis, ibu dari 2 anak -yang sering jengkel dengan pola peresepan anak-tetapi tetap melakukan pilihan terakhir dengan mendatangi DSA- dan dengan terpaksa juga nuruti resep yang ditulis.





4 Practical Steps to Achieving Your Goals

24 03 2010

4 Practical Steps to Achieving Your Goals

Posted using ShareThis





Komputer Tidak Membantu Anak Belajar

29 01 2010

“Computers Do Not Help Children Learn”, demikian judul sebuah buku saku yang diterbitkan oleh  Consumers’ Assosiation of Penang. Dua hal yang dibahas dalam buku ini yakni pertama, apa yang sesungguhnya anak-anak butuhkan  dan kedua, computer dapat menyebabkan masalah fisik serta penglihatan.

Komputer  adalah guru yang buruk

Anak-anak yang sudah mengenal komputer di usia muda, ketika otak mereka masih dalam masa perkembangan, mungkin kurang dilengkapi diantisipisi efeknya di masa depan. Komputer menurut buku ini:

  • dapat ,mempengaruhi perkembangan otak anak-anak, kesehatan, serta pertumbuhan sosial maupun emosionalnya;
  • dapat menghambat kreativitas anak, motivasi dan kemampuan menyelesaikan masalah (problem-solving skill);
  • dapat melemahkan kemampuan menulis, ejaan (spelling) dan membaca;
  • dapat menyebabkan gangguan konsentrasi, dan membuat ketidaksabaran serta frustasi toleransi yang rendah pada anak-anak;
  • komputer tidak mengajarkan anak-anak bagaimana berfikir dan mengelola perasaan;
  • computer tidak mengembangkan keterampilan berbahasa, keterampilan social, imajinasi, dan pengendalian diri – apa yang anak-anak butuhkan untuk kehidupannya.

Apa yang anak-anak butuhkan?

Penelitian menunjukkan bahwa jauh lebih baik daripada anak-anak berada di depan komputer adalah membawa mereka bermain bersama orang dewasa yang peduli, melibatkan mereka dalam permainan yang kreatif, memberinya pengalaman outdoor di alam, seni, dan keterampilan tangan lainnya.