ASI of the smiling face WAFA

10 11 2010

Kalau ada orang yang membuat saya iri saat ini adalah ibu-ibu dengan ASI berlimpah sehingga bisa menyusui anaknya secara eksklusif. Punya stok ASI berlimpah di kulkasnya. Seperti berita yang ini

http://www.detikhot.com/read/2010/11/03/163712/1484440/230/naik-haji-istri-irfan-hakim-stok-asi-2-kulkas

Tentu saja semuanya dilakukan dengan usaha keras.

Kenapa saya harus iri??

Melihat tabungan ASIP saya yang kian menipis mulai terbersit kekhawatiran dalam diri saya. ASIP itu telah saya kumpulkan sejak WAFA berusia 2 pekan hingga saat ini memasuki pekan ketiga saya kembali bekerja. Setiap saya tinggal bekerja dia menghabiskan sekitar 300-400 ml lebih, sementara saat pulang saya hanya membawa 150, paling bagus 200ml, ditambah hasil perahan malam dan pagi sebelum kerja sekitar 60-100ml. Total sekitar 300 ml. Itupun kalau saya lancar bisa merah dengan teratur, kadang-kadang saya berada di lokasi yang membuat saya mengalami kesulitan untuk memerah ASI atau kadang saya di perjalanan dengan kendaraan umum.

Saya masih berkejaran dengan stok ASI, kadang saya memerah di atas kendaraan teman yang saya tumpangi, di ruang tunggu rumah sakit, di mushola, di ruang rapat, di mobil jemputan, di manapun selama saya bisa. Dengan tangan dan jlbab, saya merasa tidak akan ada orang yang curiga…and I don’t care. Salah sendiri, kenapa tidak ada ruang khusus untuk wanita pemeras seperti saya.

Saya telah gagal memberi ASI ekslusif bagi kedua anak saya dan tak ingin gagal untuk anak ketiga saya. Kegagalan itu terjadi dengan berbagai alasan, mulai dari masalah ASI yang tak mencukupi, ekonomi, pekerjaan dan yang absolut adalah pengetahuan saya. Saya belum melek, belum tahu strategi, meskipun saya lulusan S1 saat itu.

Menjadi working mother bagi saya adalah bagian pemenuhan kebutuhan, tidak hanya secara finansial, tetapi juga kebutuhan aktualisasi diri. Berulang kali saya membayangkan seandainya saya seorang full time mother, mungkin saya tidak akan mengalami “kejar setoran” seperti ini, tapi berulang kali pula saya tersadar bahwa menjadi working mother ataupun fulltime mother adalah pilihan (hopefully voluntarily choice) dengan konsekuensi dan tantangan masing-masing.

Menjadi WM tentu sangat melelahkan, ditambah lagi malam hari masih harus bangun dan berusaha mengumpulkan tetes demi tetes ASI untuk menambah stok keesokan hari…makin melelahkan. Tapi sayapun telah merasakan berada di rumah sepanjang hari, mengurus anak2 sepanjang hari, melakukan pekerjaan rumah…subhanallah urusan domestik memang tak ada habisnya, dengan hasil pekerjaan yang seringkali dikatakan “tak berbekas”. Makanya saya suka keder kalau suami saya pulang kerja dan komentar miring tentang kondisi rumah. Dari itu pula saya memahami dan merasa tak perlu protes dengan kondisi rumah yang berantakan atau kurang rapi sepulang saya dari bekerja. Saya tak ingin menuntut banyak dari para ART (asisten Rumah Tangga) saya. Saya cuma mengecek makan the active Najya dan the talkative little Hanun dan tentu saja the smiling face Wafa tercukupi minum ASInya setiap hari. Itu sudah cukup. Apalagi Wafa minum ASI dengan sendok feeder (apa sih namanya ya, softcup feeder barangkali), pokoknya botol dengan ujung sendok yang praktis hanya orang yang telaten dan terlatih yang bisa menggunakannya. Saya berikan applause untuk ART saya dengan keterampilan ini.

Masih berkejaran dengan stok ASIP dan berkejaran dengan keinginan memberi ASI hingga 2 tahun, saya harus meminta pada yang Kuasa, agar diberi kekuatan serta jalan keluar. Bismillah…insyaAllah saya bisa!!! Ya Allah biarpun ASI saya tak berlimpah hingga saat ini, tapi cukupkanlah untuk anak saya.

(Bunda Yuyun Yuniar)