Salaya : dalam pertarungan antara pikiran dan perasaan

15 04 2011

Ini adalah tulisan yang sudah saya tulis sekitar setahun yang lalu. Sekarang saat yang tepat untuk membaginya dengan teman-teman. Mudah-mudahan ada manfaat yang bisa diambil, buanglah yang tidak bergunanya. Selamat membaca bagi yang ingin membaca 🙂 Semua tokoh dalam tulisan ini adalah nyata dan memang kisah nyata…waduh lebaay

 

” Ibu, aku merasa tertuding dengan stigma bahwa aku egois. Hingga aku berpikir bahwa memang aku yang egois”,  aku memulai curhatku pada wanita cantik yang aku panggil ibu ini.

”Mengapa begitu? Tidak seperti itu, Yuni punya kesempatan yang tidak semua orang bisa mendapatkannya. Ingat kesempatan itu tidak akan datang dua kali”, ungkapnya.

” Tapi ibu, rasanya terlalu berat. Aku seperti dibenturkan dalam pilihan mengambil tantangan ini atau memilih anak-anak. Menjawab tantangan berarti mengorbankan anak-anak”, sahutku dengan air mata yang mulai menetes.

” Dengar, apa Yuni tahu saat ini Ibu ingin belajar lagi, jadi mahasiswa lagi. Dana sudah ada, Abi mengijinkan, orangtua mendukung, kos-kosan udah dicari, tapi sampa saat ini Ibu masih seperti ini. Itulah takdir Allah. Tidak bisa semua terjadi begitu saja. Yuni, kamu punya kesempatan, ambil dan raihlah itu. Bukankah Islam memerintahkan kita untuk terus belajar sepanjang hayat, bahkan sampai ke negeri China. Yuni, islam kita membutuhkan SDM yang cerdas, berkualitas, kalau Yuni bisa sekolah setinggi-tingginya maka lakukanlah. Apalagi Yuni seorang perempuan, Yuni lihat sendiri berapa banyak SDM perempuan kita di parlemen dan di pemerintahan, masih sangat sedikit karena memang kapasitasnya yang masih kurang, tak banyak perempuan yang cerdas dan punya skill serta didukung oleh pemahaman islam yang kuat. Lebih dari 50% rakyat kita adalah perempuan. Yuni ngerti?” Jelasnya panjang lebar.

”Iya bu, tapi tetap ada keraguan dan rasa bersalah saya pada anak-anak, saya berat sekali meninggalkan anak-anak dalam usia mereka yang masih balita”, air mataku pun makin deras mengalir.

”Yuni, setahun itu hanya sekejap saja, tak lama. Bersabarlah, yakinlah bahwa kamu mampu melakukan ini semua. Thailand itu dekat kan. Dengar, sekarang ibu mau tanya, apa suamimu berkeberatan?”

” Tidak, dia bahkan selalu mendukung saya agar segera sekolah lagi. Sejak sebelum menikah bahkan dia sudah menyuruh saya melanjutkan sekolah ke luar negeri, mencari beasiswa. Bahkan dia lebih aktif mencarikan untuk saya ketimbang untuk dirinya sendiri,”

”Nah, apalagi begitu. Cukuplah ijin suamimu sudah menjadi dasar, cukup sebagai bekalmu, bahkan meskipun Yuni tidak diijinkan oeh orang tua atau saudara yang lain. Ijin suamimu sudah melebihi semua ijin lain.”

Aku terdiam dan hanya bisa menjawab dengan tangisan. Rasanya cukup melegakan. Aku tahu aku harus maju, aku tahu aku tak boleh menyerah pada perasaanku. Tapi tetap saja aku seorang ibu, naluriku selalu membuatku ingin dekat dengan suami dan anak-anakku. Aku seorang ibu, keinginanku untuk bersama anak-anak yang lahir dari rahimku tentu saja lebih kuat dari keinginan seorang ayah untuk dekat dengan anak-anaknya. Dan sekarang aku harus kuat untuk meninggalkan mereka, untuk mengambil S2 di negeri asing, mengambil kesempatan beasiswa yang telah terbuka.

Aku teringat saat hendak apply beasiswa ini. Sempat terlintas keraguan, aku takut diterima. Bodoh memang, seharusnya mendapat beasiswa itu menggembirakan, tapi untukku malah menakutkan.Sampai-sampai aku menunda terus pengiriman aplikasi online itu.

”Eh, kalian udah baca email Pak Roy tentang beasiswa di Mahidol uiversity”, tanya Bu Selma, seorang teman peneliti yang lebih senior dariku dan teman-teman kantor lain.

” Sudah bu, saya sudah apply”, kata Mas Syarif, teman seangkatanku yang super kocak.

” Kamu ga coba Yun. Thailand itu dekat lho, cukup bagus lagi. Enak ko dan mungkin persyaratannya lebih mudah”, tannya Bu Selma padaku.

”Iya tuh, saya sudah bilang berkali-kali, kalian itu ga usah mikirin kantor mau jadi apa atau gimana, jangan mikirin proyek terus. kalian harus terus belajar, yang penting belajar Inggrisnya dulu. Banyak peluang beasiswa berseliweran lewat begitu saja. Apa sih yang kalian tunggu, lima tahun bekerja di sini tak jadi apa-apa, padahal kalian harusnya sudah jadi DOKTOR dalam 5 tahun itu”, sambut Bu Anny, ketua KPP kami yang selalu mengompori kami untuk sekolah. Dia sendiri sudah menyandang gelar PHd dari USA.

”Iya bu, saya mau coba apply juga, tapi belum Bu. Saya masih mikirin anak-anak dan suami. Berat kalau ditinggal. kalau dapat di Indonesia, saya prefer di Indonesia saja Bu”, jawabku

”Wah, kamu takut ya suami kamu buka cabang, hahaha”, ledek Mas Syarif.

”Yun, Thailand itu deket lho, apalagi sekarang ada Air Asia yang murah. Kamu bisa pulang tiap bulan lho”, Kata Bu Selma lagi.

”Yun, dengar. Tahun ini tidak ada anggaran beasiswa tugas belajar dari PPSDM. Ingat kata Pak Roy, jangan menunggu dan mengandalkan kantor atau pemerintah. kalau  bisa cari sendiri lebih baik dan lebih memudahkan bagi kantor kita karena tidak perlu mengeluarkan biaya untuk sekolah. Kamu sudah dengar kan pengalaman teman-teman yang berusaha dapat beasiswa dalam negeri. sulitnya minta ampun, karena yang mau banyak, tapi peluang dan anggaran sedikit. pokoknya susah lah, mendingan kamu ke luar negeri. Tambah pengalaman, kuliah jalan, tak perlu keluar  biaya apalagi sampai ngutang sana sini, bahkan kalau hemat beasiswa bisa ditabung sebagian, gaji tetep ngucur tiap bulan. Jauh lebih melegakan”, kata Bu Anny.

”Iya bu, nanti saya coba apply. Masih ada 4 hari lagi sebelum closing date”, jawabku akhirnya.

Dan begitulah, aku pun apply beasiswa tersebut, 2 hari sebelum tanggal terakhir. seminggu kemudian aku dapat balasan bahwa aku lolos seleksi putaran pertama. Kemudian aku mengirimkan berkas-berkas transkip dan ijazah S1 yang itupun disiapkan oleh suamiku. Lalu seminggu kemudian aku mendapat email bahwa au lolos dan mendapat beasiswa penuh dari Ford Foundation. Saat itulah justru aku menjadi bimbang. mengambil kesempatan itu berarti meninggalkan keluargaku, tidak mengambil kesempatan itu akan sangat disayangkan karena aku mendapat full scholarship dan aku khawatir peserta tahun depan dari Indonesia akan di-black list jika aku mundur tahun ini. Aku pun berkonsultasi dengan penerima beasiswa progam ini tahun-tahun sebelumnya. Dan aku menyimpulkan bahwa yang terbaik adalah mengambil peluang ini.

Selain itu aku pun banyak berbagi dengan teman-teman seniorku di kantor, salah satunya Bu Rini.

”Bu, gimana ya. Saya ambil apa tidak ya peluang itu?, tanyaku pada Bu Rini

”Lha ya ambil lah Yun, mumpung anak-anak masih kecil.”, jawabnya.

”Lho ko gitu Bu, justru saya khawatir karena anak-anak masih kecil.” timpalku heran

”Aku ini udah pernah ngerasain kuliah saat anak-anak sudah beranjak dewasa, ternyata lebih susah.” jawabnya lagi.

”Maksudnya lebih susah gimana Bu, saya ngga ngerti”, tanyaku

”Iya, kalau anak kecil itu masih bisa dialihkan perhatiannya. Lain dengan anak yang beranjak dewasa, dia harus diperhatikan lebih banyak mulai dari belajarnya, cara bergaulnya, teman-temannya dan urusan lainnya yang jauh lebih rumit daripada sekedar memberi makan atau mengajak main.”,ungkap Bu Rini

”Oh, begitu Bu”,

”Iya, begitu. Aku soalnya sudah ngalamin”.

—-

mengunjungi National Park Khao Yai bersama teman-teman

Kucium tangan suamiku setelah kami shalat isya bersama. Benakku dipenuhi pertanyaan yang ingin kusampaikan pada suamiku, aku ingin meyakinkan diriku dengan pertanyaan-pertanyaan itu.

”Yah, mengapa Ayah mengijinkan aku pergi”, tanyaku sambil meletakkan kepalaku di bahunya.

”Kenapa tanya begitu, Bunda pergi untuk mencari ilmu kan”, dia balik bertanya

”Tapi Yah, bukankah tempatku yang nyaman adalah di sisimu dan anak-anak. Bahagiaku adalah bersama kalian, orang-orang yang paling aku sayangi, yang ingin aku lindungi, aku kasihi setiap saat. Aku ingin selalu melihat kalian di sisiku, meyakinkan kalian aman”, ungkapku

”Aku tahu, kamu memang selalu ingin jadi wonder woman, menyelesaikan segala masalah. Sayangku, ini adalah waktu di mana kau harus belajar mempercayakan berbagai urusan rumah ini dan anak-anak padaku, memberi aku kesempatan untuk belajar menjadi seorang ayah yang menghandle semuanya, tidak selalu bergantung padamu”, ungkapnya di luar dugaanku

Aku merasa tersentuh oleh pernyataan itu. Aku menangis.

”Bunda, kamu harus lihat ini sebagai sebuah lompatan. Kamu tahu elektron terluar, dia harus melepaskan energi agar bisa berpindah ke lintasan yang lebih dalam. Lihatlah ini sebagai sebuah lompatan kuantum. Lihatlah betapa mudahnya Allah membukakan jalan untukmu, Allah memilihmu di antara teman-temanmu yang lain, Allah tengah menghamparkan karpet merah untukmu. Berjalanlah di atasnya, lalui jalan itu, gapailah apa yang akan Allah takdirkan untukmu”, ucapnya panjang lebar.

Aku hanya mampu tergugu di bahunya, deras air mataku mengalir. Dia mengusap air mataku, aku sungguh terlarut dalam perasaanku saat ini. Perlahan kulihat ia pun meneteskan air mata, sesuatu yang sangat jarang aku lihat pada sosok lelaki yang telah 5 tahun menjadi pendamping hidupku. Aku tahu, ini pun bukan keputusan yang mudah untuknya.

”Bunda ingat bagaimana kita dulu, saat Najya lahir saat aku jobless, lalu Hanun lahir juga aku jobless. Bagaimana dulu Allah selalu memberikan jalan keluar bagi kita, Bunda ingat kan? Lalu bagaimana ketika aku memutuskan untuk kuliah lagi, saat itu kaupun tak begitu mendukungku karena alasan ekonomi, tapi lihat bagaimana Allah memberi jalan dengan adanya beasiswa untukku. Lalu lihat lagi ketika kau berkeinginan keras untuk mengontrak rumah ini dalam kondisi penghasilanku pas-pasan, betapa Allah berikan jalan sehingga aku mendapat pekerjaan lain. lihatlah semua itu. Dan, sekarang Allah berikan jalan lain untuk kita, husnudzan dan sepantasnya kita bersyukur pada Allah. Allah pasti punya rahasia di balik ini semua. Bunda ingin punya rumah kan, bukankah bunda selalu berkeras untuk yang satu itu?”, pancingnya.

”Heeh”, aku hanya mamu mengucapkan itu.

”Ya, mungkin ini jalannya. Sudahlah, Bunda harus kuat, percayalah kita mampu menjalani ini semua.Break the limit, making the impossible become possible, the uncertain become certain, take the risk.Buatlah perubahan, Keluarlah dari zona nyaman, jawablah tantangan, ciptakan peluang itu. Itulah karakter seorang pejuang. Dan aku percaya istriku ini adalah seorang pejuang, karena dari dulu kau selalu berjuang. Aku tahu istriku ini bukanlah tipe ustazah, dan aku lihat potensi yang ada padamu adalah ilmu, itulah yang harus dioptimalkan. Dan kesempatan itu telah terbuka, kau telah memilih jalan menjadi seorang peneliti, itu yang harus dijalankan. Aku ingin istriku mampu mengaktualisasikan diri, aku tak mau mengungkungmu, aku ingin engkau maju sebagaimana aku pun ingin maju. Aku mohon maaf, hingga saat ini belum mampu memberimu dan anak-anak tempat tinggal. Dan karena itu pula aku tak akan menghalangimu mengambil jalan untuk mempercepat terwujudnya keinginan itu, aku takkan menghalangi apapun selama  berada di jalan yang kita yakini kebenarannya. Jangan khawatir dengan prasangka orang lain, yakinlah pada diri kita sendiri, jangan ragu melangkah” ucapnya sambil mengelus kepalaku.

”Terima kasih Yah,”, aku tak sanggup berkata lain kecuali itu. Kupeluk dia sepenuh hatiku. Aku ingin merasa aman dalam rengkuhannya.

”Tenanglah, aku ga bakal buka cabang ko, setidaknya tidak dalam waktu dekat ini” candanya.

”Huh, selalu gitu deh. Sebel”, aku mencubit pipinya. Aku paling kesal kalau dia berkata begitu.

”Ya sudah, kita tidur dulu. Sudah malam. Besok aku antar ke kedutaan ya, mau buat visa kan”, katanya.

”Iya, ayo” sambutku.

Dan begitulah. Waktu terasa berjalan begitu cepat. Aku berharap waktu kepergianku masih lama lagi dan berharap bahwa waktu itu tidak akan tiba.  Kadang bahkan sebaliknya, aku berharap waktu itu sudah begitu cepat berlalu sehingga aku sudah berada kembali di sini, di tempat ini bersama suami dan anak-anakku. Tanggal 14 Juli, waktu yang kupilih untuk keberangkatan ke Thailand, semakin dekat. Terasa begitu cepat……..Seandainya dapat kuputar waktu, akan kuputar ia menjadi April 2010, saat perkiraan aku lulus.mmmmmh, berat rasanya. Tapi, SALAYA…… I WILL COME.